1. Negara Demokrasi Baru Butuh Mahkamah Konstitusi
Sejak mundurnya Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998, Indonesia memulai langkah-langkah reformasi menyeluruh dengan memulihkan kembali kedaulatan rakyat benar-benar ke tangan rakyat. Pemulihan itu berpuncak pada perubahan UUD 1945 yang berlangsung selama 4 tahun berturut-turut, yaitu Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan Kedua pada tahun 2000, Perubahan Ketiga pada tahun 2001, dan Perubahan Keempat pada tahun 2002. Satu rangkaian empat tahap perubahan itu menghasilkan citak-biru sistem ketatanegaraan yang sama sekali berbeda dari sebelumnya. Dua di antara prinsip-prinsip pokok yang diadopsikan dan diperkuat dalam rumusan baru UUD 1945 adalah (i) prinsip demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy), dan (ii) prinsip negara hukum yang demokratis atau “democratische rechtsstaat” atau “democratic rule of law”.
Sistem demokrasi diperkuat dengan mengadopsikan berbagai prinsip-prinsip mendasar untuk memastikan bahwa kedaulatan benar-benar berasal dari rakyat dan diselenggarakan oleh rakyat, bersama rakyat, dan untuk kepentingan rakyat. Di antara prinsip-prinsip penting itu adalah: (i) semua instrumen hak-hak asasi manusia yang berlaku univeral dan jaminan-jaminan hak warga negara dituangkan dalam rumusan Perubahan Kedua pada tahun 2000, (ii) pengaturan mengenai penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan berkeadilan dalam Perubahan Ketiga pada tahun 2001, (iii) sistem pemilihan presiden secara langsung dalam Perubahan Ketiga dan Keempat pada tahun 2001-2002, dan (iv) diadopsikannya ide pembentukan peradilan konstitusi dalam rumusan Perubahan Ketiga dan Keempat pada tahun 2001-2002.
Bersamaan dengan itu, prinsip Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis (democratic rule of law) juga dipertegas dalam rumusan UUD 1945. Prinsip “supremasi parlemen” yang dianut sebelumnya, yang dilambangkan dengan kedudukan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) sebagai lembaga tertinggi negara, diubah dengan prinsip “supremasi konstitusi” dimana semua lembaga negara dan semua cabang kekuasaan negara mempunyai kedudukan yang sama-sama tunduk kepada konstitusi dalam hubungan “checks and balances” antara satu dengan yang lain. Perubahan dari prinsip “supremasi institusi” ke “supremasi konstitusi” tersebut memperkuat kedudukan konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan mengharuskan konstitusi itu dijalankan dengan sungguh-sungguh dalam praktik penyelenggaraan negara sehari-hari. Konstitusi tidak lagi hanya bernilai simbolik atau semantik, yang hanya ada dalam pidato-pidato para pejabat, tetapi – sebagai kontrak sosial – benar-benar harus dapat diwujudkan dalam kenyataan.
Dalam kaitan itulah diperlukan satu lembaga baru yang dapat berperan sebagai pengawal konstitusi, pengimbang demokrasi mayoritarian, pelindung hak-hak konstitusional warga negara, penafsir final atas aturan-aturan konstitusi, dan sekaligus sebagai lembaga penyeimbang dalam mekanisme hubungan “checks and balances” antar lembaga negara dan antar cabang kekuasaan negara. Itulah sebabnya Indonesia membentuk Mahkamah Konstitusi di samping Mahkamah Agung yang sudah ada sejak sebelumnya. Sebagai negara yang menganut tradisi ‘civil law’, kita tidak dapat menyerahkan fungsi-fungsi tersebut di atas kepada Mahkamah Agung yang sudah sarat dengan begitu banyak perkara. Pada umumnya, kecuali Belanda, negara-negara demokrasi dengan tradisi ‘civil law’ memiliki Mahkamah Konstitusi atau Dewan Konstitusi (Conseil Constitutionnel) seperti di Perancis.
Sejak perubahan konstitusi tahun 1999-2002 itu, Indonesia memasuki suasana kehidupan yang sama sekali berubah. Dengan segala akibat sampingan dan risiko-risiko di masa transisi, Indonesia telah menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah India dan Amerika Serikat. Bahkan, oleh mantan Presiden Jimmy Carter disebutkan bahwa perubahan ini telah memberikan bukti yang sangat konkrit bahwa tidak ada masalah antara agama dan demokrasi, keduanya dapat berjalan seiring dan saling menopang dalam hubungan yang bersifat komplementer. Dikatakan oleh Carter, India adalah negara dengan penduduk terbesar kedua di dunia yang mayoritas penduduknya menganut agama Hindu; Amerika Serikat berpenduduk terbesar ketiga di dunia dengan mayoritas penduduknya beragama Kristen; Indonesia merupakan negara berpenduduk terbesar keempat di dunia, dan mayoritas penduduknya beragama Islam. Karena itu, semua pemeluk agama besar dunia telah menerima prinsip-prinsip demokrasi dengan sebaik-baiknya dalam kehidupan ketatanegaraannya masing-masing.
Sebagai negara demokrasi baru yang terbesar, tentu banyak masalah yang dihadapi selama masa transisi sepuluh tahun terakhir. Namun, penutup bagi masa transisi itu menuju konsolidasi demokrasi yang lebih sehat adalah pemilihan umum dan pemilihan presiden tahun 2009 ini yang diharapkan sama suksesnya dengan pemilu tahun 2004 yang lalu. Setelah pemilu 2009, diharapkan dapat segera terjadi konsolidasi alamiah, sehingga sistem hukum dan demokrasi akan berjalan normal dalam rangka menjamin kebebasan, kesejahteraan, dan keadilan bagi segenap warga negara serta semakin meningkatnya pergaulan dan kerjasama Indonesia dengan sesama negara demokrasi di dunia, terutama dengan negara tetangga, seperti Australia berdasarkan cara pandang yang sama tentang masalah-masalah yang harus dihadapi bersama.
2. Model-Model Peradilan Konstitusional
Di dunia dewasa ini, terdapat tiga model peradilan konstitusi, yaitu (1) Kelsenian Models, (ii) French model, dan (iii) American decentralised model. Ide pembentukan lembaga Mahkamah Konstitusi adalah fenomena abad 20. Negara pertama yang membentuknya adalah Austria pada tahun 1920, yaitu atas sumbangan pemikiran Hans Kelsen. Kedudukan lembaga ini didesain sederajat dan bahkan dalam praktik di kemudian hari mempunyai kedudukan yang lebih penting daripada Mahkamah Agung yang sudah ada sebelumnya. Model demikian inilah yang kemudian dikenal sebagai Kelsenian Model. Sekarang di dunia, sudah lebih dari 80 negara yang membentuk lembaga peradilan konstitusi yang tersendiri ini. Model Kelsenian ini biasa disebut juga sebagai “centralised model”, karena semua perkara konstitusional ditangani secara terpusat oleh Mahkamah Konstitusi.
Meskipun tidak semua, tetapi pada umumnya negara-negara demokrasi dengan tradisi ‘civil law’ selalu mempunyai lembaga peradilan konstitusi di luar dan sederajat dengan Mahkamah Agung yang ini. Negara monarki konstitusional yang tidak membentuk Mahkamah Konstitusi dan bahkan tidak mengenal mekanisme ‘judicial review’ atas konstitusionalitas undang-undang (parliamentary acts) adalah Belanda. Di luar Belanda, hampir semuanya memiliki Mahkamah Konstitusi di samping Mahkamah Agung. Negara-negara yang mengalami perubahan menjadi demokrasi pada akhir abad ke-20, semuanya membentuk Mahkamah Konstitusi. Misalnya, negara-negara bekas komunis di Eropah Timur, Korea Selatan, Afrika Selatan, Thailand, dan Indonesia, setelah berubah menjadi demokrasi, semuanya mendirikan Mahkamah Konstitusi.
Beberapa negara yang sudah lebih dulu mengadopsikan ide pembentukan peradilan konstitusi itu, mengikuti pola atau model Perancis, yang tidak menyebutnya sebagai pengadilan melainkan dewan konstitusi. Semua negara bekas jajahan Perancis dan dipengaruhi oleh sistem hukum Perancis pada umumnya membentuk Dewan Konstitusi seperti “Conseil Constitutionnel” Perancis. Dewan Konstitusi ini tidak melakukan ‘constitutional review’ atau ‘posteriori norm control’, melainkan ‘constitutional preview’ atau ‘apriori norm control’. Para anggotanya pun tidak harus ahli hukum dan hakim, tetapi mantan-mantan politisi senior yang diakui sebagai negarawan.
Sedangkan model ketiga dapat kita sebut sebagai model Amerika Serikat. Bahkan, sebenarnya, justru Amerika Serikat lah negara pertama yang mempraktikkan mekanisme “judicial review” atau “constitutional review” ini, yaitu dengan kasus Marbury versus Madison pada tahun 1803. Kasus inilah yang pertama kali terjadi di dunia, dimana Mahkamah Agung Federal Amerika Serikat membatalkan undang-undang buatan Kongres, sehingga menimbulkan kontroversi dan ketegangan yang luar biasa antara cabang kekuasaan eksekutif dan judikatif. Namun, setelah kasus ini diikuti pula oleh banyak kasus lain yang serupa, maka mekanisme ‘judicial review’ atas konstitutionalitas undang-undang buatan parlemen (parliamentary acts) diterima luas sebagai mekanisme yang efektif untuk mengawal pelaksanaan konstitusi dan menjamin hak-hak konstitusional warga negara yang mungkin terabaikan oleh mekanisme demokrasi majoritarian.
Oleh karena tradisi ini dimulai oleh Mahkamah Agung, maka di Amerika Serikat tidak dianggap perlu untuk membentuk lembaga tersendiri seperti di negara-negara ‘civil law’ Eropah Kontinental. Karena itu, sampai sekarang, semua negara di dunia yang dipengaruhi oleh sistem konstitusi Amerika Serikat tidak memiliki Mahkamah Konstitusi ataupun Dewan Konstitusi yang tersendiri. Semua fungsi dan mekanisme kerja Mahkamah Konstitusi tersebut dilakukan secara terintegrasi oleh Mahkamah Agung yang bertindak sebagai “the Guardian of the Constitution”. Pendek kata, pada umumnya, negara-negara demokrasi dengan tradisi ‘common law’ tidak membentuk lembaga Mahkamah Konstitusi yang tersendiri. Bahkan di Inggeris, sampai sekarang, juga masih belum dapat menerima gagasan “judicial review’ atas konstitusional undang-undang seperti yang dipraktikkan oleh Amerika Serikat sejak tahun 1803 itu. Sampai sekarang, Inggeris masih tetap berpegang teguh pada prinsip “supremasi parlemen” yang dianutnya. Apalagi, Inggeris dikenal memang tidak mempunyai naskah konstitusi yang terdokumentasikan secara tertulis (written constitution).
3. Ringkasan Sejarah Pembentukan MK
Setelah berubah menjadi demokrasi, seperti halnya negara-negara dengan tradisi ‘civil law’ lainnya menganggap penting membentuk lembaga Mahkamah Konstitusi yang tersendiri di luar Mahkamah Agung. Ide ‘judicial review’ memang sudah pernah diperdebatkan pada tahun 1945 ketika UUD 1945 dirancang. Namun ketika itu, alam pikiran ‘the founding leaders’ ketika itu yang tentunya banyak dipengaruhi oleh sistem hukum Belanda dengan ketat beranggapan bahwa undang-undang tidak dapat diganggu-gugat oleh pengadilan (de wet is onschenbaar). Pengadilan hanya boleh menerapkan undang-undang, tidak menilai undang-undang. Di samping itu, para perancang dan perumus UUD 1945 juga telah menyepakati dianutnya prinsip “pembagian kekuasaan” dan bukan prinsip pemisahan kekuasaan ala Montesquieu. Dengan prinsip pembagian kekuasaan itu, struktur kekuasaan negara dilihat secara vertikal, sehingga kedaulatan rakyat dianggap harus dijelmakan dalam satu lembaga tertinggi negara yang disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Prinsip yang demikian itu berlaku juga di semua negara-negara sosialis Eropah Timur sebelum berubah menjadi demokrasi dan bahkan berlaku di RRC sampai sekarang. Dengan kata lain, yang berlaku adalah supremasi institusi majelis rakyat tertinggi. Namun, di Indonesia, setelah reformasi konstitusi pada tahun 1999-2002, cara pandang yang demikian itu justru diubah dari prinsip supremasi institusi ke prinsip supremasi konstitusi, sehingga diperlukan satu lembaga yang mengawalnya, yaitu Mahkamah Konstitusi.
Yang menjadi ‘impetus’ atau pen-‘trigger’ diperdebatkannya gagasan pembentukan lembaga ini adalah kasus pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2000. Presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan karena alasan politik dan hanya diputuskan dalam forum politik berdasarkan suara terbanyak. Dalam kontroversi pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid itu, muncul ide untuk mengadakan pengaturan konstitusional mengenai makanisme ‘impeachment’ agar seorang Presiden yang dituduh melakukan pelanggaran hukum dapat diputuskan oleh forum pengadilan, bukan oleh forum politik di MPR. Gagasan ini mendapat respons positif dari semua kalangan dan kemudian diadopsikan menjadi rumusan Pasal 7A dan Pasal 7B Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tahun 2001 dengan ide pembentukan Mahkamah Konstitusi. Setelah ketentuan tersebut disepakati, barulah dirumuskan kewenangan-kewenangan lain yang perlu ditambahkan sebagai kewenangan Mahkamah Konstitusi. Hal itulah yang kemudian diatur dalam rumusan Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945 dalam Perubahan Ketiga pada tahun 2001 dan Aturan Peralihan Pasal III dalam Perubahan Keempat pada tahun 2002.
Dalam ketentuan yang terakhir diperintahkan agar Mahkamah Konstitusi sudah terbentuk sebelum tanggal 17 Agustus 2003 dan sebelum terbentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Masyarakat luas menyambut antusias rencana akan dibentuk dan akan beroperasinya lembaga peradilan konstitusi. Karena itu, sebelum pembentukannya, Mahkamah Agung telah menerima 14 perkara pengujian undang-undang yang diajukan oleh berbagai kelompok masyarakat yang kelak tidak satupun yang diselesaikan oleh Mahkamah Agung, sehingga semuanya dilimpahkan kepada Mahkamah Konstitusi setelah pembentukannya.
Namun demikian, menjelang penyusunan undang-undang yang akan mengatur lebih lanjut mengenai pembentukan Mahkamah Konstitusi ini, timbul kontroversi yang menimpa Presiden Megawati Soekarnoputri terkait kasus yang dikenal sebagai “Sukhoi-gate”. Dalam kaitan itu, berkembang isu yang mengaitkan ide pembentukan Mahkamah Konstitusi itu dengan kemungkinan digelarnya perkara “impeachment” terhadap Presiden. Hal ini sangat mempengaruhi dan bahkan menghambat proses penyiapan undang-undang yang akan menjadi dasar operasional bagi pembentukan Mahkamah Konstitusi. Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi itu baru disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003, yaitu hanya 4 hari sebelum tenggat waktu 17 Agustus 2003 yang ditentukan oleh UUD 1945.
Setelah disahkan, dalam waktu hanya 2 hari telah diadakan proses rekruitmen para calon hakim konstitusi, yaitu tiga orang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tiga orang ditentukan oleh Mahkamah Agung, dan tiga orang lainnya ditentukan oleh Presiden. Kesembilan orang hakim periode pertama tersebut mengucapkan sumpah jabatannya pada tanggal 16 Agustus, 2003, hari Sabtu, yaitu persis 1 hari sebelum tanggal 17 Agustus 2003 yang merupakan hari libur nasional. Sesudah pelantikan, pada tanggal 19 Agustus 2003 diadakan rapat pertama kali, dan diadakan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua periode pertama. Untuk pertama kalinya, yang terpilih sebagai Ketua dan Wakil Ketua periode 2003-2006 adalah saya sendiri dan Dr. M. Laica Marzuki sebagai Wakil Ketua. Sejak itu, Mahkamah Konstitusi mulai menjalankan tugas konstitusionalnya dengan bermodalkan tiga lembar kertas, yaitu: (i) kertas naskah UUD 1945, (ii) kertas naskah UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan (iii) kertas Keputusan Presiden tentang pengangkatan 9 hakim konstitusi periode 2003-2008.
4. Susunan dan Kedudukan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia terdiri atas sembilan orang hakim, masing-masing tiga orang dipilih oleh DPR, tiga orang ditentukan oleh Mahkamah Agung, dan tiga orang ditentukan oleh Presiden. Untuk periode pertama hakim yang terpilih, adalah (i) Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie (University of Indonesia, Jakarta), (ii) Achmad Roestandi, SH. (retired military general), dan (iii) I Dewa Gede Palguna, SH. (University of Udaya, Denpasar) dari unsur pilihan DPR; (iv) Prof. Dr. M. Laica Marzuki (University of Hasanuddin Makassar, Justice of the Supreme Court), (v) Maruarar Siahaan, SH. (career judge), (vi) Soedarsono, SH. (career judge) dari unsur pilihan MA, dan (vii) Prof. H.A.S. Natabaya (University of Sriwijaya, Palembang), (viii) Prof. Abdul Mukthie Fajar (University of Brawijaya, Malang), dan (ix) Dr. Harjono (University of Airlangga, Surabaya) dari unsur pilihan Pemerintah/Presiden.
Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh kesembilan hakim konstitusi itu sendiri. Ketua dan Wakil Ketua juga merangkan sebagai anggota. Di samping itu, jabatan Ketua sidang dipergilirkan di antara kesembilan hakim, tergantung kepada kasusnya dan/atau bentuk persidangannya, yang dapat berbentuk pleno atau panel. Untuk mengadakan pemeriksaan, dapat dibentuk panel hakim yang terdiri atas tiga orang atau lima orang. Sedangkan pleno hakim sekurang-kurangnya terdiri atas tujuh orang hakim. Masing-masing dan pleno dapat menunjuk atau memilih ketuanya masing-masing. Selama lima tahun, sidang pleno selalu dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi atau oleh Wakil Ketua yang bertindak sebagai ketua sidang. Sedangkan sidang panel atau rapat panel dipimpin oleh ketuanya masing-masing.
Forum hakim dibedakan antara sidang atau persidangan dengan rapat atau rapat permusyawaratan. Sidang atau persidangan diadakan untuk pemeriksaan dan mendengarkan keterangan pihak-pihak yang diselenggarakan secara terbuka untuk umum. Untuk lebih menjamin keterbukaan dan transparansi, semua pihak yang merasa berkepentingan, dipersilahkan mengikuti persidangan, untuk memberikan keterangan tertulis atau pun memberikan keterangan dalam persidangan terbuka. Bahkan, di dalam ruang sidang, disamping disediakan tempat untuk para pengunjung juga disedikan ruang dari mana wartawan media cetak dan elektronik dapat menyaksikandan menyampaikan laporan pandangan mata ke masyarakat luas. Sedangkan rapat permusyawaratan hakim diadakan tertutup dan materi pembahasannya bersifat rahasia. Yang boleh menghadiri rapat-rapat hakim yang bersifat tertutup ini hanya panitera atau panitera pengganti yang telah disumpah untuk menjaga kerahasiaan.
Untuk memberikan dukungan terhadap pelaksanaan tugas hakim, struktur organisasi staf dibagi dua, yaitu (i) sekretariat jenderal yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal sebagai pejabat eselon satu atau pejabat tertinggi dalam struktur birokrasi Mahkamah Konstitusi, dan (ii) kepaniteraan yang dipimpin oleh Panitera sebagai pejabat fungsional yang disetarakan kedudukannya setingkat eselon satu. Sekretariat Jenderal bertanggunjawab di bidang organisasi dan institution building, sedangkan Panitera bertanggungjawab dalam urusan administrasi perkara.
Pegawai Mahkamah Konstitusi, tidak lebih dari 200 orang dan terdiri atas pegawai struktural dan fungsional. Pegawai fungsional terdiri atas panitera, peneliti, pustakwan, dan arsiparis. Sedangkan pegawai lainnya termasuk golongan pegawai struktural yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal yang membawahi 5 eselon dua, yaitu (iii) Biro Umum, (ii) Humas dan Protokol, (iv) Biro Perencanaan dan Keuangan, (i) Biro Administrasi Perkara dan Persidangan, (v) Pusat Penelitian dan Pengkajian. Kelima pejabat eselon 2 tersebut membawahi 10 orang pejabat eselon III dan 21 orang pejabat eselon IV.
5. Kewenangan dan Fungsi
Kewenangan Mahkamah Konstitusi mencakup lima jurisdiksi perkara, yaitu (i) pengujian konstitusionalitas undang-undang; (ii) sengketa konstitusional lembaga negara; (iii) sengketa mengenai hasil pemilihan umum, termasuk pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah;(iv) pembubaran partai politik; dan (v) perkara impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden. Perkara yang paling banyak yang diperiksa dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi selama lima tahun pertama adalah (a) perkara pengujian undang-undang dan (b) sengketa hasil pemilihan umum. Selama lima tahun pertama, perkara pengujian undang-undang tercatat 151 kasus atau 30-an setiap tahun. Sedangkan perkara sengketa hasil pemilu 2004 sebanyak 274 perkara, ditambah dengan sengketa hasil pemilihan kepala daerah yang baru dilimpahkan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitu sejak tanggal 1 November 2008 sebanyak 27 kasus.
Di masa mendatang, jika tidak terjadi lagi perubahan mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung, perkara sengketa hasil pemilihan kepala daerah akan menjadi perkara yang paling banyak menyita waktu bagi para Hakim Mahkamah Konstitusi. Dewasa ini, di seluruh Indonesia terdapat 33 provinsi, 68 kota, dan 482 kabupaten yang masing-masing dipimpin oleh Gubernur, Walikota, dan Bupati. Dengan demikian, pada setiap 5 tahun, akan ada 33+68+482 = 583 kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Artinya, pada setiap tahun akan ada sekitar 116,5 pemilihan kepala daerah langsung dan pada setiap bulan akan ada 9,7 pemilihan kepala daerah secara langsung.
Jika tidak semua pemilihan kepala daerah diperkarakan, tentu tidak akan menimbulkan kesulitan. Akan tetapi, jika semuanya menimbulkan perkara, dan setiap perkara minimal membutuhkan 3 kali persidangan, maka setiap hari akan ada sidang perkara sengketa hasil pemilihan umum yang harus ditangani oleh Mahkamah Konstitusi.
Jenis perkara lainnya yang ditangani oleh Mahkamah Konstitusi adalah perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara. Beberapa kasus yang terjadi berkenaan dengan ini adalah sengketa antara DPR dan DPD, antara BPK dan MA, antara BPK dan Menteri Keuangan, antara Pemerintahan Daerah dan Pemerintah Pusat, serta antara Menteri Informasi-Komunikasi dan Komisi Penyiaran Indonesia. Jenis perkara sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga negara ini pada umumnya menghadapi kendala psikologi politik yang kurang mendukung dan budaya berperkara yang masih rendah dimana para pejabat belumterbiasa memperkarakan peselisihan tugas dan kewenangan masing-masing di forum pengadilan. Karena itu, jumlah perkara jenis ini belum banyak, meskipun perselisihan antar lembaga dan antar pejabat negara sering terungkap secara terbuka di media massa.
Kelima jurisdiksi perkara yang menjadi kewenangan pada pokoknya dapat dirumuskan dalam 6 fungsi, yaitu Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai: (i) pengawal konstitusi (the Guardian of the Constitution), (ii) pengendali atau pengimbang demokrasi mayoritarian, (iii) penengah dalam hubungan antar lembaga atau antar cabang kekuasaan negara (constitutional arbitrase between and among state organs), (iv) pelindung hak-hak konstitusional warga negara (protector of the citizens’ constitutional rights), (v) pelindung hak asasi manusia (protector of human rights), dan (vi) penafsir akhir atau final atas norma konstitusi (the final interpreter of the constitution).
Sebabagi pengawal konstitusi, MK menjaga agak semua norma konstitusi dilaksanakan dalam praktik kehidupan kenegaraan. Tidak boleh ada kebijakan negara ataupun tindakan negara yang bertentangan dengan undang-undang dasar. Apalagi, jika kebijakan itu dituangkan dalam bentuk undang-undang sebagai produk demokrasi mayoritarian yang lebih mengutamakan prinsip suara terbanyak dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan. Jika suatu undang-undang bertentangan dengan UUD maka, melalui Mahkamah Konstitusi, undang-undang demikian dapat dituntut pembatalannya. Karena itu, di samping sebagai “the Guardian of the Constitution”, Mahkamah Konstitusi juga merupakan pengendali atau pengimbang demokrasi.
Konstitusi merupakan kontrak sosial di antara sesama warga negara untuk membentuk negara bersama dengan sistem aturan yang ditetapkan dalam konstitusi. Karena itu, jika ada kebijakan negara yang melanggar hak-hak konstitusional warga negara ataupun hak-hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi, maka warga negara yang bersangkutan berhak untuk mengajukan permohonan pengujian konstituionalitasnya kepada Mahkamah Konstitusi. Karena itu, mahkamah ini dapat pula disebut sebagai pelindung hak konstitusional warga negara dan bahkan pelindung hak asasi manusia.
Mahkamah Konstitusi juga bertindak sebagai penengah atau semacam arbitrae konstitusional yang memutus setiap sengketa konstitusional antar cabang kekuasaan atau antar lembaga negara. Di samping itu, lembaga ini juga merupakan lembaga yang memegang kewenangan terakhir dalam menafsirkan normaq-norma konstitusi. Meski lembaga-lembaga negara yang lain, seperti Presiden, MPR, DPR, DPD, MA, BPK, sama-sama dapat melakukan penafsiran sendiri-sendiri atas norma-norma konstitusi, tetapi semua penafsiran lembaga-lembaga lain itu tidak bersifat final dan mengikat. Penafsiran yang bersifat final dan mengikat hanya ada pada Mahkamah Konstitusi dan itulah yang tercermin dalam setiap putusan mahkamah ini.
6. Model untuk Pembaruan Peradilan
6.1. Penulisan Putusan dan Pendapat Hakim
Sebagai lembaga baru, suasana dan budaya kerja para hakim saya arahkan menjadi dalam lingkungan akademis dimana para pesertanya melakukan kegiatan belajar dan mengajar sekaligus. Setiap hari, saya tugaskan tim khusus yang mencari buku atau men-‘daownload’ artikel dan laporan mengenai materi yang relevan dengan tugas atau dengan materi perkara yang diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi. Semua bahan-bahan itu diperbanyak dan dibagikan kepada para hakim. Beberapa di antara yang dianggap sangat penting, juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Bersamaan dengan itu, Sekretariat Jenderal yang perintah untuk membuat program penerbitan buku tulisan para hakim, buku himpunan putusan, ataupun jurnal konstitusi. Meskipun sebagian terbesar hakim tidak terbiasa menulis buku atau belum pernah menulis buku, saya paksa dengan jadwal agar semua hakim menyusun buku sambil membaca bahan-bahan yang sudah dipersiapkan. Hasilnya, setelah lima tahun, tidak ada lagi hakim yang belum pernah menerbitkan buku, tidak saja 1 buku, tetapi 2, 3 atau 4 buku dalam 5 tahun. Saya sendiri, dalam lima tahun, berhasil menulis dan menerbitkan 10 buah buku, sehingga karya ilmiah saya sampai sekarang sudah berjumlah lebih dari 30-an banyaknya.
Dalam suasana dan kebiasaan semacam itu, pertimbangan hukum yang ditulis oleh “drafting judge” biasanya cukup detil dan elaboratif. Sesudah draft dibuat, naskah rancangan putusan dibaca dan dikoreksi bersama di atas layar proyektor yang dikerjakan oleh staf kepaniteraan yang disumpah untuk menjaga kerahasiaan draft putusan. Karena itu, setiap putusan yang dibacakan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum sudah dipastikan merupakan karya bersama dan merupakan naskah final yang tidak pernah menimbulkan penyesalan karena adanya kekeliruan atau kesalahan.
6.2. Pertimbangan Hukum dan Peranan ‘Dissenting Opinions’
Setiap putusan selalu mencakup pembukaan dan identitas pihak, duduk perkara dengan bukuti-bukti dan keterangan pihak-pihak yang dikompilasikan secara lengkap, dilanjutkan dengan pertimbangan hukum (judicial reasoning), konklusi dan amar (order) serta penutup. Di akhir putusan, apabila terdapat pendapat hakim yang berbeda terhadap pendapat mayoritas, maka pendapat berbeda itu dilampirkan pada bagian akhir putusan. Pendapat berbeda itu bisa berbeda mengenai amar (order) atau bisa juga berbeda alasan yang digunakan. Yang pertama disebut sebagai Pendapat Berbeda (dissenting opinion), sedangkan yang kedua disebut Alasan Berbeda (concurrent/consenting opinion). Di Indonesia, Mahkamah Konstitusi yang pertama mempraktikkan dimuatnya pendapat berbeda ini dalam putusan yang diumumkan kepada publik. Setelah Mahkamah Konstitusi, barulah Mahkamah Agung juga menerapkan hal yang sama.
Bahkan, karena beranekaragamnya latar belakang keahlian dan pengalaman sembilan hakim konstitusi periode 2003-2008 yang saya persilahkan tetap konsisten dengan aliran pemikirannya masing-masing, maka dalam lima tahun tidak pernah ada putusan yang disepakati bersama tanpa didahului oleh perdebatan keras di antara kesembilan orang hakim konstitusi. Setiap hakim adalah pilar konstitusi dan diharuskan bersikap otonom, independen secara sendiri-sendiri. Inilah esensi dari prinsip ‘independence of judiciary’. Independensi bukan hanya dalam konteks kelembagaan secara struktural dalam berhadapan dengan cabang-cabang kekuasaan yang lain ataupun independen dari pengaruh kekuasaan politik dan ekonomi, tetapi juga independen dari segi fungsional, yaitu independennya setiap individu hakim dalam mengambil keputusan. Inilah yang dilambangkan dalam desain gedung Mahkamah Konstitusi yang memiliki sembilan tiang di pintu depan. Kesembilan tiang itu menggambarkan sembilan cara berpikir yang hidup dalam masyarakat yang penunjang kehidupan konstitusi negara Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945.
Dalam banyak perkara, Ketua Mahkamah Konstitusi sering tidak berhasil mengintegrasikan, mengkonsolidasikan, atau mengkompromikan pandangan-pandangan yang berbeda-beda di antara kesembilan hakim. Karena itu, tidak dapat dihindari dalam banyak perkara, hakim yang tidak setuju dengan kesimpulan mayoritas harus diberi kesempatan untuk menuliskan pendapatnya yang berbeda, baik berupa pendapat berbeda (dissenting opinion) ataupun alasan berbeda (concurrent/consenting opinion). Dengan adanya pendapat berbeda ini, dapat diperoleh beberapa keuntungan, yang antara lain: (i) masyarakat dapat diberi pengertian yang lebih jelas dan distinctif bahwa ‘legal reasoning’ atau substansi putusan resmi bukanlah seperti yang diuraikan dalam pendapat minoritas; (ii) ‘dissenting opinion’ atau ‘concurrent opinion’ itu, seringkali juga berfungsi sebagai ‘safety valve institution’, katup pengaman, atau penyalur aspirasi yang berkembang dinamis dan beraneka-ragam dalam masyarakat; dan (iii) kadang-kadang ‘dissenting/concurrent opinion’ juga berfungsi sebagai pendorong atau ‘stimulus’ bagi kegiatan pengkajian akademis di dunia ilmu hukum dan pendidikan hukum yang dapat menampung potensi perkembangan-perkembangan baru di masa-masa mendatang.
6.3. Penyerahan Langsung, Publikasi Putusan dan Manajemen Waktu
Karena jumlah perkaranya belum banyak dan institusinya masih baru dengan kedudukannya yang sangat strategis dan sangat penting secara konstitusional, maka berbagai inovasi dan langkah-langkah rintisan dapat dilakukan di Mahkamah Konstitusi. Salah satunya adalah sistem administrasi dan manajemen perkara yang dikembangkan secara modern, cepat, tepat waktu, dan tanpa biaya. Setiap agenda sidang atau rapat, tidak pernah meleset satu menitpun dari jadwal yang telah ditentukan. Pada umumnya, sidang dibuka tepat pada jam 10.00 pagi dan berakhir pada jam 12 atau 12.30, dilanjutkan pada sore hari pada jam 14 sampai dengan selesai. Semua advokat dan pihak-pihak yang pernah bersidang di Mahkamah Konstitusi merasa antusias dan dengan senang hati merasa terikat untuk selalu datang tepat pada waktunya, tidak seperti kebiasaan di lingkungan pengadilan biasa sampai sekarang.
Setiap kali sesudah putusan Mahkamah Konstitusi resmi dibacakan dalam Sidang Pleno, petikan naskah putusan lengkap dibagikan secara langsung kepada para pihak dalam ruang sidang. Panitera akan menyerahkan langsung petikan naskah putusan lengkap itu sesudah sidang ditutup secara resmi oleh Ketua. Biasanya, putusan lengkap itu berisi sekitar 100 sampai dengan 400-an halaman beserta lampiran bukti-bukti tertulis yang akan disimpan sebagai arsip di Pusat Arsip Nasional. Sedangkan arsip yang disimpan di Sekretrariat MK hanya berupa ‘chips’ atau ‘CD’ ditambah beberapa dokumen tertulis yang sangat penting.
Dalam waktu lima belas menit atau tiga puluh menit sesudah putusan dibacakan dalam sidang pleno terakhir, naskah pertimbangan hukum putusan itu juga dimuat dalam website Mahkamah Konstitusi, yaitu www.mahkamahkonstitusi.go.id. Dengan pemuatan di website itu, informasi tentang putusan MK dapat diakses oleh pubik dimana saja dan kapan saja. Selain itu, petika naskah putusan MK juga diringkas dalam bentuk abstrak dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris. Bahkan, atas permintaan Venice Commission Uni Eropa, abstrak putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam bahasa Inggeris itu juga dikirim dan dimuat dalam website Venice Commission.
Tradisi penyerahan petikan naskah putusan lengkap secara langsung dan cepat ini serta pemuatannya dalam website yang dapayt diakses oleh semua orang seperti yang dipraktikkan oleh Mahkamah Konstitusi belum pernah terjadi dalam sejarah peradilan di Indonesia sebelumnya. Demikian pula dengan sistem arsip yang modern dan dengan menggunakan jasa Pusat Arsip Nasional, juga merupakan hal yang sama sekali baru dalam praktik perarsipan di Indonesia. Saya mempunyai pandangan bahwa hanya dengan dukungan sistem administrasi yang baik dan modern, upaya mewujudkan tujuan peradilan yang modern dan terpercaya akan dapat dicapai.
Modernisasi sistem administrasi ini tidak hanya dibutuhkan dalam rangka modernisasi birokrasi lembaga peradilan dan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya, tetapi juga semua lembaga negara di lingkungan cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan judikatif. Karena itu, saya selalu menganjurkan agar setiap pimpinan lembaga-lembaga negara harus lah memiliki ‘sense of administration’ yang kuat dalam rangka melembagakan ide-ide pembaruan sistem hukum guna menunjang penerapan prinsip ‘good governance’ di semua sektor publik.
6.4. Mencegah Korupsi Peradilan
Untuk mencegah korupsi, suap, dan gratifikasi yang tidak sah, staf Mahkamah Konstitusi yang menjalankan fungsi pelayanan umum, dilarang mengadakan transaksi berupa uang atau hal-hal yang berkaitan dengan uang dengan para pencari keadilan. Bahkan biaya perkara yang biasanya dibebankan kepada para pencari keadilan ditiadakan di Mahkamah Konstitusi. Karena, sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi hanya berurusan dengan persoalan-persoalan keadilan dan kebenaran konstitusional, sehingga tidak sepantasnya mengenakan beban biaya apa dan berapa pun kepada para pencari keadilan. Negara justru berkewajiban untuk menjamin agar hak-hak konstitusional setiap warga negara tidak dilanggar.
Jika terjadi pelanggaran atau dugaan pelanggaran, rakyat miskin tidak boleh dicegah haknya untuk mencari keadilan ke Mahkamah Konstitusi hanya karena mereka tidak memiliki cukup uang untuk membayar biasa perkara. Soal uang dan biaya perkara terlalu kecil untuk menjadi penghalang bagi tegaknya nilai-nilai dan norma konstitusi sebagai hukum tertinggi. Karena itu, semua urusan berperkara di Mahkamah dibebaskan dari beban biaya. Semua pembiayaan persidangan dan penyelesaian perkara dibebankan kepada anggaran negara, kecuali hal-hal yang memang merupakan tanggungjawab pemohon sendiri sebagai pencari untuk membiayainya, seperti menghadirkan ahli dan saksi, menggandakan dokumen permohonan dan alat-alat bukti tertulis, dan sebagainya.
Selain bebas biaya perkara, semua pegawai Mahkamah Konstitusi, setiap tahun juga diminta untuk mengadakan deklarasi anti korupsi dalam rangka mengingatkan mereka mengenai pentingnya membebaskan diri dari praktik suap dan korupsi. Demikian pula pengelolaan administrasi keuangan yang tertib dan transparan diupayakan dapat secara konsisten memperoleh penilaian yang baik dari ‘external auditor’. Tertibnya administrasi keuangan merupakan modal yang paling utama bagi tertibnya sistem administrasi suatu organisasi, dan tertibnya sistem administrasi itu merupakan modal utama bagi setiap organisasi untuk dapat mewujudkan tugas dan fungsinya dengan berhasil.
Selama tiga tahun terakhir, yaitu 2006, 2007, dan 2008, secara berturut-turut,pengelolaan keuangan Mahkamah Konstitusi mendapatkan penilaian dengan opini wajar tanpa pengecualian. Penilaian demikian diberikan, baik oleh Badan Pemeriksa Keuangan maupun oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dengan predikat terbaik di antara sesama lembaga-lembaga negara yang lain.
6.5. Transparansi dan Peradilan-Elektronik (E-Court)
Salah satu aspek penting dalam upaya menerapkan prinsip “good governance” adalah transparansi. Dalam rangka membangun iklim keterbukan dan transparansi itu, sejak awal, dikembangkan sistem informasi yang dapat diakses secara cepat, mudah, dan gratis oleh semua orang. Sarana yang tepat untuk itu adalah dengan menggunakan teknologi informasi elektronik dan internet. Sejak tahun pertama, Mahkamah Konstitusi telah membuka website: www.mahkamahkonstitusi.go.id.
Semua produk Mahkamah Konstitusi berupa putusan, peraturan, ketetapan, keputusan, risalah-risalah persidangan, jurnal-jurnal, berita, dan informasi tentang tender terbuka, dan mengenai struktur organisasi, profile hakim dan sebagainya, semua tersedia di website tersebut. Bahkan, staf sekretariat dan kadang-kadang Ketua Mahkamah Konstitusi juga melayani tanya jawab langsung dengan masyarakat yang membutuhkan informasi tentang Mahkamah Konstitusi.
Bahkan, selaku Ketua Mahkamah Konstitusi, saya sendiri juga membuka website www.jimly.com yang dapat menampung konsultasi dan pertanyaan-pernyataan mengenai berbagai masalah hukum dan politik yang terjadi dalam masyarakat. Website www.jimly.com juga menyediakan e-book, e-articles, e-lectures, dan berbagai informasi lain tentang hukum, konstitusi, Mahkamah Konstitusi, dan lain sebagainya. Website tersebut juga memuat berbagai kegiatan-kegiatan yang saya lakukan, baik sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, sebagai guru besar Universitas Indonesia maupun sebagai pribadi.
Dalam menjamin penyelenggaraan pemeriksaan perkara secara cepat dan efisien, Mahkamah Konstitusi juga telah mengembangkan jaringan ‘video-conference’ dengan 34 Fakultas Hukum universitas negara di ibukota provinsi di seluruh Indonesia. Sarana ‘tele-conference’ini di samping dapat dimanfaatkan oleh perguruan tinggi untuk kepentingan pendidikan dan komunikasi jarak jauh antar sesama perguruan tinggi, juga dapat digunakan sebagai ‘court room’, baik untuk mooting bagi mahasiswa maupun dalam mendukung penyelenggaraan kegiatan persidangan jarak jauh oleh Mahkamah Konstitusi. Pemeriksaan saksi, ahli, ataupun keterangan pihak-pihak yang berasal dari daerah-daerah, cukup didengarkan melalui sarana ‘video-conference’, tidak perlu datang langsung ke ruang sidang MK di Jakarta.
Dengan demikian, proses pemeriksaan perkara, terutama perkara perselisihan hasil pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah serta perkara-perkara pengujian undang-undang yang melibatkan warga masyarakat yang berasal dari daerah-daerah terpencil, cukup diselenggarakan melalui jarak jauh. Penggunaan sarana video-conference dan alat-alat bukti yang bersifat elektronik lainnya, baru pertama dipraktikkan di Indonesia, yaitu oleh Mahkamah Konstitusi. Alat-alat bukti dan media yang bersifat elektronik ini dapat diterima berdasarkan ketentuan UU tentang Mahkamah Konstitusi dengan pertimbangan bahwa jenis perkara yang ditangani oleh Mahkamah Konstitusi tidak menyangkut kepentingan pribadi pihak-pihak, melainkan berkaitan dengan kepentingan umum yang dijamin oleh UUD 1945.
Di bidang hukum pidana, pembuktian elekronik memang belum dapat diterima sebagai alat bukti, karena kepentingan yang dipertahankan adalah kepentingan yang bersifat individual dan berkenaan dengan pertanggungjawaban individual warga. Akan tetapi, dalam peradilan konstitusi, kepentingan yang diperjuangkan dan dipertahankan adalah kepentingan umum, sehingga alat bukti elektronik itu dipandang harus dapat diterima di zaman modern dewasa ini. Dalam pengalaman lima tahun terakhir, penerapan sistem informasi dan komunikasi elektronik ini ternyata juga telah membangkitkan kultur dan semangat kerja yang terbuka, transparan dan akuntabel di kalangan staf dan para hakim Mahkamah Konstitusi.
7. Tantangan Intervensi Politik di Masa Mendatang
Sekarang, Mahkamah Konstitusi yang proses pembentukannya dimulai dengan tiga lembar kertas konstitusi, kertas undang-undang, dan kertas keputusan presiden pada bulan Agustus 2003, telah menjelma menjadi satu lembaga peradilan yang modern dan terpercaya dengan kedudukan dan peranannya yang sangat strategis dan penting dalam perkembangan sistem demokrasi dan negara hukum Indonesia modern. Periode pertama 2003-2008 telah selesai. Sembilan hakim generasi pertama telah digantikan oleh sembilan hakim generasi kedua.
Namun, berkembang kekhawatiran di berbagai kalangan mengenai stabilitas keberadaan lembaga ini di masa depan. Pertama, periodesasi keanggotaan hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ini hanya lima tahunan. Periode lima tahun itu tergolong sebagai masa jabatan terpendek di antara sesama hakim Mahkamah Konstitusi di dunia. Di negara-negara lain, periode keanggotaan selalu lebih dari lima tahun, yaitu 7 tahun, 9 tahun ataupun 15 tahun dan seterusnya. Bahkan, para Hakim Agung Federal Amerika Serikat ditetapkan seumur hidup, semata-mata untuk menjamin independensi dari para hakim agung itu. Di samping itu, masa lima tahunan itu sama dengan siklus kekuasaan Presiden, DPR dan DPD dan periodesasi penyelenggaraan pemilihan umum.
Akibatnya, dinamika politik lima tahunan itu dapat berpengaruh terhadap para hakim Mahkamah Konstitusi yang juga harus berganti pada setiap lima tahun sekali. Meskipun jadwal rekruitmen hakim tidak dilakukan pada tahun yang sama dengan penyelenggaraan pemilihan umum, tetapi periodesasi kekuasaan politik lima tahunan itu, bagaimana pun juga, berpengaruh terhadap periodesasi lima tahunan keanggotaan Mahkamah Konstitusi. Kedua, lagi pula, prosedur dan mekanisme rekruitmen kesembilan orang hakim konstitusi itu dilakukan secara terbagi antara lembaga legislatif (DPR), esekutif (Presiden), dan judikatif (Mahkamah Agung). Masing-masing berwenang menentukan tiga orang, yaitu tiga dipilih oleh DPR, tiga ditentukan oleh Mahkamah Agung, dan tiga lainnya ditentukan oleh Presiden. Sesudah itu, kesembilan orang hakim itu diangkat dengan Keputusan Presiden dan diambil sumpahnya di hadapan Presiden di Istana Negara.
Dengan ditentukannya proses pemilihan melalui forum DPR untuk memilih tiga orang hakim konstitusi, timbul persoalan, apakah para anggota DPR yang merupakan politisi praktik dapat dikatakan memenuhi syarat untuk dipilih menjadi Hakim Konstitusi. Untuk menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum saja, seseorang tidak boleh memiliki status sebagai anggota Partai Politik selama lima tahun terakhir. Sedangkan untuk menjadi hakim konstitusi tidak dipersyaratkan hal semacam itu, sehingga para politisi yang membayangkan bahwa karir politiknya akan segera berakhir di DPR atau di partai politik dapat segera mengubah nasib menjadi hakim konstitusi, yang apabila telah terpilih barulah diharuskan mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik.
Sebelum Mahkamah Konstitusi terbentuk, tidak banyak orang yang berminat menjadi hakim konstitusi. Akan tetapi, setelah mengetahui kedudukan dan peranan yang dimainkan oleh Mahkamah Konstitusi selama lima tahun terakhir, banyak orang yang menaruh minat untuk menjadi hakim konstitusi, apalagi di kalangan para politisi. Karena itu, terbuka kemungkinan para politisi akan berusaha masuk ke Mahkamah Konstitusi melalui pintu DPR dan pintu Presiden yang kelak setelah ditetapkan menjadi Hakim Konstitusi cukup dengan pernyataan sepihak bahwa yang bersangkutan melepaskan diri dari segala jabatan politik sebelumnya, maka terpenuhilah syarat sebagai negarawan non-politisi untuk menjadi hakim konstitusi.
Dengan demikian, di masa depan, ada kemungkinan bahwa Mahkamah Konstitusi akan diisi oleh 6 orang politisi yang dapat mengendalikan atau menguasai proses pengambilan keputusan di DPR dan di pemerintahan. Hal ini, ditambah lagi dengan pengaturan periodesasi lima tahun yang berkaitan dengan siklus kekuasaan lima tahunan, akan menyebabkan terjadinya politisasi dalam rekruitmen hakim konstitusi. Pada gilirannya, hal itu juga akan mempengaruhi kinerja para hakim konstitusi dan jaminan prinsip independensi, dan imparsialitas Mahkamah Konstitusi. Kenyataan semacam inilah yang ditakutkan oleh banyak kalangan yang biasa disebut sebagai potensi gangguan terhadap stabilitas independensi para hakim konstitusi dan dan independensi kelembagaan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam menjalankan tugas konstitusionalnya sebagai “the Guardian of the Constitution”, sebagai pengendali atau pengimbang demokrasi majoritarian, sebagai pelindung hak-hak asasi manusia dan hak-hak konstiusional warga negara, sebagai penengah konflik antar lembaga dan antar cabang kekuasaan negara, serta sebagai penafsir final atas ketentuan undang-undang dasar.
Jakarta, March 2009.
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.
CV in Brief of
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie
· Founder, the First and Former Chief Justice of the Costitutional Court of the Republic of Indonesia (2003-2008).
· Involved in the process of Indonesian Constitutional Reform (1998-2003) as (i) chairman of National Working Team for Law Reform under B.J.Habibie’s administration; (ii) in-charge of the Expert Panel for Constitutional Reform together with Prof. Dr. Bagir Manan (former Chief Justice of the Supreme Court) under B.J. Habibie’s administration; (iii) author and editor of the blue-print book for constitutional reform, “A Preface to the Idea of Constitutional Reform”, The Habibie Center, 2000; (iv) Expert Advisor to Ad Hoc Committee for Constitutional Reform of the People’s Consultative Assembly (MPR), 2001-2002, and (v) Expert Advisor to the Secretariat of the People’s Consultative Assembly (MPR), 2003.
· Served as an Assistant to the Vice President B.J. Habibie and remained with the job when B.J. Habibie assumed the office of presidency upon resignation of President Soeharto, 1998-1999.
· Expert Advisor and Secretary to the Minister of Education and Culture (1993-1998).
· Lecturer of the Faculty of Law, University of Indonesia (since 1981), and gained his professorship in constituional law in 1998.
· Wrote and Published not least than 35 books on various topics related to constitution, law, politics, and development. Among the books have been published: (i) Constitutional Law of Indonesia, (will be published in 2009 by Maxwell Asia); (ii) Green Constitution: Warna Hijau UUD 1945 (to be published in 2009) by Raja Grafindo Jakarta; (iii) Hukum Tata Negara Darurat, Raja Grafindo, Jakarta, 2008; (iv) Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, BIP-Gramedia, Jakarta, 2007; (v) Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, volume 1 dan 2, Jakarta, 2006; (vi) Pengujian Konstitusional di Sepuluh Negara (2007); (vii) Teoru Hans Kelsen tentang Hukum (2006); (viii) Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (2006); (ix) Hukum Acara Pengujian Undang-Undang (2005); (x) Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (2005); (xi) Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi (2005); (xii) Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara (2005); (xiii) Memorabilia Dewan Pertimbangan Agung (2005); (xiv) Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (2004); (xv) Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Legislatif (2004); (xvi) Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (2003); (xvii) Konsolidasi Naskah UUD 1945 (2002); (xviii) Pengantar Pemikiran ke Arah Perubahan UUD 1945 (2001); (xix) Teori dan Aliran Penafsiran dalam Hukum Tata Negara (1998); (xx) UUD 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan (1998); (xxi) Islam dan Kedaulatan Rakyat (1997); (xxii) Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah (1996); (xxiii) Agenda Pembangunan Hukum di Abad Globalisasi (1996); (xxiv) Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia (1995); (xxv) Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi Indonesia (1994); (xxvi) dan lain-lain sebagainya seluruhnya lebih dari 30 buku ditambah ratusan artikel yang ditulis untuk jurnal atau antologi dalam buku penulis lain atau sebagai editor buku kumpulan tulisan orang lain, dan lain-lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar